Big Data: Tergerusnya Privasi dan Kebebasan Umat Manusia

“Google akan segera mengetahui siapa diri Anda lebih baik dibandingkan pasangan Anda.”
Ray Kurzweil, Direktur Rekayasa Google, dalam sebuah tafsiran wawancara Observer (2014).

Pengantar

Beberapa hari lalu, saya berbelanja di sebuah minimarket yang tak jauh dari rumah. Pada saat itu, karena belum menarik uang tunai di ATM, saya berbelanja kebutuhan bayi menggunakan kartu debit Mandiri. Menariknya, selang sehari, di halaman Facebook saya muncul iklan-iklan yang berhubungan dengan produk bayi. Itu bukan sekali saja saya alami.

Selain Facebook, sebagai pengguna Telkomsel, saya pernah juga dikirimi iklan SMS berdasarkan geolokasi berupa penawaran diskon produk Dunkin’ Donuts ketika tepat kebetulan lewat di depan outlet-nya. Saya tidak merasa heran, “Selamat datang di dunia Big Data!“, dunia tempat setiap keping data pribadi kita berharga layaknya sekeping emas.

Dalam bukunya yang dinobatkan menjadi bestseller oleh Wall Street Journal dan The New York Times pada 2014, berjudul: Big Data – A Revolution That Will Transform How We Live, Work and Think, Viktor Mayer-Schönberger dan Kenneth Cukier menceritakan hal serupa dengan apa yang saya alami [7][4].

Pada halaman 57 tentang Korelasi, diceritakan bahwa seorang ayah mendatangi toko ritel Target, sebuah perusahaan ritel raksasa di Amerika Serikat, dan marah besar karena putrinya yang masih belia dikirimi voucher-voucher pembelian baju dan boks bayi berdasarkan pola belanja sebelumnya.

Sang ayah mengatakan bahwa putrinya masih SMA dan ia sangat khawatir apabila apa yang ditawarkan tersebut mendorong putrinya untuk ingin memiliki anak sebelum waktunya. Namun, beberapa hari kemudian, ketika manajer toko menelepon untuk meminta maaf pada sang ayah, yang terjadi adalah sebaliknya. Sang ayah telah berbicara pada putrinya dan memang benar bahwa putrinya sedang mengandung.

Big Data Sebagai Alat Bantu

Big Data merupakan jejak yang kita tinggalkan di dunia digital. Frase tersebut bagi sebagian orang menimbulkan kekhawatiran tentang sebuah dunia tanpa privasi, tentang perusahaan yang lebih mengetahui tentang diri kita, tentang pemerintah yang mengawasi orang-orang yang dianggap menjadi ancaman bagi kekuasaan mereka [1].

Namun, sebagian beranggapan apabila penggunaannya dalam cara yang bertanggungjawab, penuh rasa menghargai, dan sesuai konteks maka Big Data dapat memandu kalangan individu dan institusi untuk membuat keputusan yang lebih baik, mendorong penyebaran pengetahuan berguna, dan meningkatkan laju inovasi.

Seperti Galileo yang menggunakan teleskop untuk melihat benda-benda terjauh di antariksa atau mikroskop untuk melihat benda-benda renik, Big Data merupakan instrumen penting berikutnya bagi umat manusia sebagai alat bantu untuk mengukur realitas dunia dalam berbagai aspeknya. Namun, berbeda dengan kedua instrumen yang telah disebutkan, objek yang diamati tidak memiliki dimensi fisik. Sesuatu yang bersifat abstrak, yaitu data.

Data dibangun dari informasi dan informasi membutuhkan energi untuk berpindah lokasi. Di mana ada informasi, di sana ada energi, dan demikian sebaliknya. Perubahan energi tersebut ditangkap oleh berbagai sensor dalam bentuk informasi-informasi dan diterjemahkan lebih lanjut ke dalam data yang dapat diindeks.

Dalam semesta informasi, baik itu informasi benar maupun salah, semuanya berguna. Keduanya saling melengkapi dan membangun struktur data suatu objek secara utuh. Seperti sebuah kubus 3 dimensi, bila kita ingin mengetahui sifat-sifat bawaannya, kita tidak saja mengukur panjangnya namun juga lebar dan tingginya, dan dengan itu kita bisa mengetahui perbedaannya dengan objek 3 dimensi lainnya, misalnya balok.

Mengukur suatu objek, entah itu abstrak maupun nyata, sama artinya dengan mengetahui objek tersebut secara lebih lengkap. Dengan mengetahui dan memahami, kita bisa merekayasa ulang objek tersebut dalam bentuk konstruksi perspektif yang beragam, melakukan simulasi berbagai keadaan, dan mengetahui sifat-sifat lainnya yang selama ini tersembunyi atau luput dari penginderaan kita.

Mengungkap hal tersembunyi, itulah salah satu tujuan Big Data. Perilaku manusia dalam aktivitas sosial, ekonomi, dan politik merupakan hal yang sangat menarik bagi perusahaan-perusahaan iklan dan badan intelijen sebuah negara. Sebut saja Google dan Facebook, siapakah di antara kita yang pernah menyempatkan diri membaca syarat dan ketentuan menggunakan layanan pencarian dan jejaring sosial tersebut?

Selama ini Google menyimpan apa saja yang pernah kita cari sejak pertama kali terdaftar pada layanan tersebut di https://history.google.com/. Demikian halnya juga dengan Facebook, setiap aktivitas like dan klik menjadi acuan iklan yang akan ditampilkan. Data kita dijual kepada pengiklan. Terkadang kita juga menjadi objek penelitian, berita atau status yang kita like mencerminkan kondisi psikologis kita, bahkan ada penelitian korelasi antara isi posting Twitter dengan kondisi mental seseorang [10].

Big Data dan Privasi

Kita beranggapan bahwa layanan Internet yang disediakan perusahaan asing tidak menjadi ancaman bagi kehidupan sosial pribadi dan mempercayakan sepenuhnya komunikasi kita melalui layanannya. Sebenarnya, pesan yang kita anggap rahasia ketika menekan tombol “submit” sudah bukan rahasia lagi. Ada begitu banyak titik perangkat jaringan yang dilewati hingga sampai ke dalam kotak pesan orang yang dituju.

Sesampainya di server Google atau Facebook, walaupun kita menginstruksikan agar pesan tersebut dihapus setelah dibaca kepada penerima, tidak ada yang menjamin bahwa informasi tersebut benar-benar dihapus. Ketika kita menghapus sebuah pesan e-mail atau posting, sebenarnya di latar belakang sistem bisa saja sang pemrogram hanya memberikan flag atau tanda di kolom tabel basisdata untuk menandakan posting kita dihapus tanpa menghapus isinya.

Belum lagi, ilusi bahwa kita memiliki privasi di Internet dengan mengandalkan kata sandi dan 2FA (two factor authentification) merupakan sesuatu yang sangat tidak berdasar. Khusus untuk 2FA, yang mengandalkan SMS ke handphone, dengan ditemukannya kelemahan pada protokol routing jaringan telekomunikasi global, yaitu Signaling System 7 (SS7), maka seseorang bisa menyadap lalu-lintas SMS, percakapan telepon, dan menjejak lokasi seseorang [13][9][2].

Implikasi lanjutnya pada kehidupan kita tentu bisa disimpulkan, mulai dari token SMS Danamon hingga akun jejaring sosial dan e-mail menjadi tidak aman lagi. Sejak dikembangkan pada 1975, protokol tersebut menjadi tulang punggung lalu-lintas komunikasi telepon. 33 tahun kemudian, yaitu pada 2008 baru ditemukan kelemahannya dalam sebuah penelitian dan pada 2014 ramai diberitakan media publik. Apakah itu disengaja untuk kepentingan pihak tertentu belum ada yang mengungkap.

Lalu apa relevansi kelemahan protokol dengan Big Data? di mana ada data berlimpah di sana ada Big Data. Apabila semua kelemahan protokol tersebut “disengaja”, mulai dari SS7 sampai SSL untuk sambungan komunikasi Internet, maka dapat mempermudah pengumpulan informasi dan analisis lebih lanjut bagi pihak tertentu [11].

Dengan menguasai hub, atau tempat perlintasan informasi, dan protokolnya maka pihak terkait berada di peringkat atas penguasaan informasi dunia. Semua informasi diserap dan memudahkan sebuah negara untuk mengukur kekuatan negara lain, menambah tingkat percaya diri sebuah negara untuk mendikte negara lainnya.

Big Data dan Informasi Strategis

Banyak orang berpendapat, kenapa terlalu mengkhawatirkan privasi, saya tidak melakukan sesuatu yang jahat. Itu membuat saya teringat cerita tentang semut dan belalang yang biasa diceritakan pada anak-anak di taman kanak-kanak, tentang belalang yang tidak menimbun makanan seperti yang dilakukan semut saat musim panas dan akhirnya mati kelaparan saat musim dingin datang.

Kilas balik peristiwa perang Irak pada 2003, beberapa orang mungkin bertanya mengapa Amerika Serikat bisa menduduki sebuah negara asing hingga melintasi benua. Itu merupakan hal yang sulit dilakukan karena membutuhkan koordinasi sumber daya yang sangat kompleks. Selain koalisi dan penguasaan teknologi bidang militer yang lebih unggul, penyebab lainnya adalah karena mereka memiliki informasi lebih banyak daripada pemerintah Irak itu sendiri [3][5].

Amerika Serikat mengetahui di mana saja letak instalasi-instalasi telekomunikasi dan pembangkit listrik negara Irak dan dengan menyerang infrastruktur tersebut pada awal perang maka koordinasi militer Irak menjadi berantakan.

Bukan hanya dalam situasi perang, dalam perpolitikan internasional, sebuah penguasaan informasi bisa membelokkan sejarah sebuah negara. Badan intelijen sebuah negara yang menguasai informasi dapat mengindentifikasi para tokoh politik sejak dini, saat mereka mulai berkecimpung di dunia politik.

Semua informasi yang ada terkait tokoh politik tersebut dikumpulkan, mulai dari percakapan telepon, e-mail, pencarian di Internet, SMS, lokasi yang dikunjungi, orang terdekat dan selingkuhan, jejaring sosialnya dan sebagainya. Mungkin bagi orang awam itu tidak berguna, namun mereka yang memiliki kepentingan dan tujuan jangka panjang menganggap itu sebuah bagian realitas masa depan.

Semua informasi yang dikumpulkan itu dijadikan “tali-tali” untuk mengendalikan tokoh politik tersebut. Ruang geraknya dapat diprediksi dan bisa disimulasikan karena semua informasi sudah diketahui. Sebuah politik yang disalahgunakan akibat kelemahan pribadi yang ditutup. Mereka menyetirnya seperti boneka dan dapat dieksploitasi dengan ancaman (blackmail) dan sebagainya untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan tertentu yang tidak memihak rakyat.

Saya tidak mengetahui apakah kasus Freeport di Indonesia ada hubungannya dengan pejabat yang korup dan berpikiran jangka pendek terhadap nasib bangsa. Sayang sekali sumber daya mineral berupa emas dan tembaga yang demikian banyaknya lolos diekspor ke luar negeri mengingat mineral tersebut bersifat strategis untuk kebutuhan penelitian dan pengembangan teknologi Indonesia.

Penguasa atau pejabat tersebut umumnya berusaha menjaga keselamatan mereka sendiri di atas kepentingan rakyat. Penindasan yang diajarkan oleh pihak asing dengan senang hati mereka teruskan kepada rakyat mereka. Rakyat diawasi dengan ketat dan dibelenggu kebebasan berpendapatnya, mirip seperti United Arab Emirates yang baru saja membeli alat pengawasan Internet dari BAE Systems, sebuah kontraktor alat pertahanan dan keamanan yang berbasis di Inggris [8].

Namun, saat korban mulai berjatuhan seperti di Suriah, itu semuanya sudah terlambat. Orang-orang kemudian mulai berbicara tentang privasi dan mulai merencanakan membangun sistem telekomunikasi swadaya. Pengalaman biasanya mengajari manusia tanpa belas kasih dan manusia terperosok karena mengabaikan intuisinya.

Penutup

Menutup tulisan ini, berdasarkan cerita saya di awal, ada tuntutan harapan kepada pihak mini market, bank, ataupun perusahaan telekomunikasi untuk tidak menggunakan aktivitas dan data-data pribadi pelanggannya tanpa persetujuan dan menjualnya ke pihak ketiga demi keuntungan jangka pendek semata.

Kita belum mengetahui secara penuh resiko ke depannya praktek-praktek periklanan tersebut bagi keselamatan pribadi seseorang terkait penyalahgunaannya oleh oknum-oknum tertentu [6][12]. Seperti kotak Pandora yang baru dibuka, Big Data sebagai bagian penelitian kecerdasan komputer masih perlu diregulasi lebih lanjut sehingga penerapannya dapat berjalan harmonis dengan kehidupan manusia.

 

Daftar Pustaka
  1. Eagle, N. dan Greene, K. L. (2014). Reality Mining: Using Big Data to Engineer a Better World. London: MIT Press.
  2. Gooding, D. (2017). Thieves Drain 2FA-protected Bank Accounts by Abusing SS7 Routing Protocol. URL: https://arstechnica.com/security/2017/05/thieves-drain-2fa-protected-bank-accounts-by-abusing-ss7-routing-protocol/. Diakses pada 23 Juni 2017, pkl 20:30 WITA.
  3. Harris, S. (2014). How the NSA Became a Killing Machine. URL: http://www.thedailybeast.com/how-the-nsa-became-a-killing-machine. Diakses pada 10 Januari 2015, pkl. 19:30 WITA.
  4. Kakutani, M. (2013). Watched by the Web: Surveillance is Reborn. URL: http://www.nytimes.com/2013/06/11/books/big-data-by-viktor-mayer-schonberger-and-kenneth-cukier.html. Diakses pada 26 Juni 2013, pkl. 10:15 WITA.
  5. Knights, M. (2003). Infrastructure Targeting and Postwar Iraq. URL: http://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/view/infrastructure-targeting-and-postwar-iraq. Diakses pada 10 Juni 2003, pkl. 22:00 WITA.
  6. Martha, C. W. (2012). Big Data Knows What are You Doing Right Now. URL: http://business.time.com/2012/07/31/big-data-knows-what-youre-doing-right-now/. Diakses pada 12 Juni 2013, pkl. 09:00 WITA.
  7. Mayer-Schönberger, V., dan Cukier, K. (2013). Big Data: Revolution That Will Transform How We Live, Work and Think. London: John Murray (Publishers).
  8. McLaughlin, J. (2016). BAE Systems Sells Internet Surveillance Gear to United Arab Emirates. URL: https://theintercept.com/2016/08/26/bae-systems-sells-internet-surveillance-gear-to-united-arab-emirates/. Diakses pada 19 Desember 2016, pkl. 14:00 WITA.
  9. Newman, L. H. (2017). Fixing the Cell Network Flaw That Lets Hacker Drain Bank Accounts. URL: https://www.wired.com/2017/05/fix-ss7-two-factor-authentication-bank-accounts/. Diakses pada 23 Juni 2017, pkl. 20:00 WITA.
  10. Reece, A. G. dkk. (2016). Forecasting the Onset and Course of Mental Illness with Twitter Data. URL: https://arxiv.org/abs/1608.07740. Diakses pada 19 Desember 2016, pkl. 13:00 WITA.
  11. Staff Spiegel. (2014). Prying Eyes: Inside NSA’s War on Internet Security. URL: http://www.spiegel.de/international/germany/inside-the-nsa-s-war-on-internet-security-a-1010361.html. Diakses pada 10 Januari 2015, pkl. 19:00 WITA.
  12. Waxer, C. (2013). Big Data Blues: The Dangers of Data Mining. URL: http://www.computerworld.com/article/2485493/enterprise-applications-big-data-blues-the-dangers-of-data-mining.html. Diakses pada 16 Januari 2014, pkl. 13:00 WITA.
  13. Wikipedia. (2017) . Signaling System 7. URL: https://en.wikipedia.org/wiki/Signalling_System_No._7. Diakses pada 23 Juni 2017, pkl. 19:00 WITA.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.