Deepwater Horizon: Penghematan yang Berujung Bencana

Di mana-mana manusia menyalahkan alam dan takdir atas apa yang terjadi pada dirinya, namun sebagian besar takdirnya merupakan pantulan karakter dan nafsunya, kesalahan-kesalahan dan juga kelemahan-kelemahannya.” — Democritus (460 – 370 SM), Filsuf Yunani Kuno Pencetus Teori Atom.

Pengantar

Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan film yang menceritakan kisah bagaimana sebuah anjungan pengeboran minyak lepas pantai milik Transocean meledak di Teluk Meksiko pada 2010. Anjungan tersebut dibuat oleh Hyundai Heavy Industries di Korea Selatan pada 2001 dan disewakan kepada British Petroleum (BP), sebuah perusahaan multinasional minyak dan gas yang bermarkas di Inggris.

Peristiwa tersebut merupakan tumpahan minyak lepas pantai terbesar dalam sejarah Amerika Serikat yang menewaskan 11 pekerja dan menyebabkan pencemaran pantai yang cukup serius dengan tumpahan sekitar 4,9 juta barel minyak mentah [4].

Mengingat film tersebut diangkat dari kisah nyata maka bagian paling menarik bagi produsernya adalah pada sebab-sebab mengapa peristiwa tersebut terjadi hingga bagaimana akhirnya anjungan tersebut meledak yang merupakan akibat ketidakmampuan manusia menjinakkan alam.

Selanjutnya, seperti yang diwartakan oleh Washington Post pada 9 Oktober 2010 [1], kebanyakan perusahaan memiliki “budaya keselamatan”-nya sendiri dan para penyelidik mencoba untuk mengungkap bagaimana budaya penghematan biaya di perusahaan tersebut berujung pada bencana.

Dalam film tersebut, dan sesuai kenyataan, secara jelas digambarkan bagaimana BP berusaha menghemat dana dengan tidak melakukan inspeksi mendalam pada penyemenan-penyemenan yang dikerjakan oleh Halliburton.

Di lapangan, para saksi BP yang dihadirkan dalam penyelidikan menyatakan bahwa pengeboran minyak merupakan sebuah bisnis dan beban-beban berupa biaya operasional harus menjadi pertimbangan. Mereka juga menyatakan bahwa keselamatan adalah hal utama dan menyangkal bahwa mereka mengabaikan keselamatan demi menghemat pengeluaran.

Memang bukan perkara mudah apabila BP harus menyewa anjungan tersebut dari Transocean sebesar $ 525.000 per hari dan belum lagi BP sedang berurusan dengan sumur eksplorasi Macondo yang sedang bermasalah hingga harus menghabiskan dana hingga 1 juta dollar per hari.

Sebelum kejadian nahas tersebut, untuk melakukan uji coba ketahanan semen maka BP harus membayar perusahaan kontraktor Schlumberger sebesar $ 128.000 dan pengujian dilaksanakan selama 12 hingga 18 jam namun BP memilih untuk mengabaikan prosedur tersebut dan memulangkan tim Schlumberger [2].

Peristiwa Titanic yang Terulang

Kasus penghematan biaya dalam perusahaan yang justru akhirnya lebih banyak merugikan bukanlah hal baru. Bencana lainnya pada awal abad ke-20 adalah peristiwa tenggelamnya kapal pesiar Titanic yang berlayar menyeberangi Samudera Atlantik dari Southampton, Inggris ke kota New York, Amerika Serikat pada 10 April 1912 dengan mengangkut 2.200 penumpang. Peristiwa tersebut menewaskan sekitar 1.500 orang dan merupakan bencana paling mematikan dalam sejarah kelautan komersial.

Perlu dirunut ke belakang mengapa peristiwa tersebut sampai terjadi. Film dokumenter terbaru National Geographic, Titanic’s Last Act: Titanic’s Fatal Fire, menceritakan bahwa terdapat kejanggalan mengapa nahkoda kapal Kapten Edward John Smith tidak mengubah arah kapal padahal ia sudah mengetahui bahwa ada gunung es yang menghadang.

Setelah diselidiki, ternyata sebelum menabrak gunung es telah terjadi kebakaran di ruang tungku pembakaran batubara. Satu-satunya cara untuk memadamkan kebakaran tersebut adalah dengan memasukkan semua batubara yang terbakar ke dalam tungku.

Terlalu banyaknya batubara yang dimasukkan ke dalam tungku menyebabkan panas yang berlebih pada baja kapal sehingga mengakibatkan deformasi berupa pelengkungan baja. Diceritakan bahwa baja yang digunakan untuk sekat-sekat dasar kapal tersebut tergolong baja kualitas rendah dan menjadi getas bila berada dalam suhu rendah.

Harland and Wolff sebagai perusahaan pembuat kapal dituduh berusaha melakukan penghematan yang tidak rasional. Beberapa sumber yang saya baca, itu dianggap kesalahan sejarah yang perlu diluruskan karena pada masa itu baja dengan kualitas demikian sudah dianggap baik.

Oleh karena persediaan batubara yang menipis akibat kebakaran tersebut menyebabkan kapten kapal tidak berani mengambil rute lain. Titanic harus mempertahankan lajunya dan mengikuti rute awal meskipun ada peringatan nirkabel terkait gunung es.

Rasa malu kehabisan bahan bakar sebelum sampai di tempat tujuan lebih mengkhawatirkan bagi sang kapten, apalagi itu merupakan pelayaran perdana Titanic. Apakah pilihan itu rasional bagi seorang kapten yang telah malang melintang di Samudera Atlantik? Tidak ada yang pernah memahami hal tersebut dan Titanic melaju dalam kegelapan menuju takdirnya.

Penyimpangan Manajemen Perusahaan

Banyak perusahaan masa kini yang secara sengaja menerapkan kebijakan penghematan yang tak beralasan. Ada dua kemungkinan perusahaan menerapkannya, pertama, kondisi keuangan perusahaan memang sekarat dan yang kedua, ketamakan.

Untuk yang pertama mungkin wajar bagi sebuah perusahaan untuk berhemat karena kondisi pasar yang lesu dan tidak adanya sumber pemasukan lain. Sedangkan untuk yang kedua, murni karena kelemahan sifat manusia. Ketamakan adalah wujud ketakutan manusia terhadap rasa tidak memiliki akan suatu hal. Ketamakan akan memaksa manusia untuk memanipulasi manusia lainnya demi tujuan mereka.

Kegelapan pikiran tidak akan pernah menyadarkan manusia, ia harus membawa terang bagi dirinya dan mengusir bayang-bayang ketakutan. Sebuah keputusan harus diambil untuk menyudahi segala yang menjadi beban selama ini sebelum beban-beban itu menenggelamkannya seperti seekor keledai di atas pasir hisap. Beban-beban itu berupa ketidakdisiplinan manajemen baik dalam hal kontrol maupun evaluasi operasional.

Bagaimana banyak dijumpai perusahaan skala kecil yang tidak bisa memisahkan antara pengeluaran pribadi dan perusahaan. Membebankan pengeluaran keluarga ke dalam keuangan perusahaan semaunya. Menghamburkan uang untuk acara-acara seremonial sedangkan proyek-proyek penting yang bersifat strategis demi kelangsungan masa depan perusahaan tidak menjadi prioritas.

Penutup

Dalam situasi tersebut, “penghematan” adalah bencana karena kebijakan tersebut hanya akan membebani para karyawan dan rekan usaha, berupa keterlambatan pembayaran gaji dan pembayaran produk. Selanjutnya, ketidakpuasan pada perusahaan akan menurunkan dedikasi karyawan dan pada akhirnya pelayanan kepada pelanggan tidak maksimal.

Kemudian apalagi yang bisa diharap? Mirip seperti efek domino yang terjadi pada Titanic, upaya menghemat dengan menggunakan baja kualitas rendah bukannya mendatangkan keuntungan namun bencana.

Daftar Pustaka
  1. Achenbach, Joel (2010). At BP, Safety vs. Cost Saving. Washington: Washington Post. Diakses pada 2 Januari 2018, pkl. ~07:00 WITA.
  2. Broder, M. John (2010). Panel Says Firm Knew of Cement Flaws Before Spill. New York: The New York Times. Diakses pada 2 Januari 2018, pkl. ~07:30 WITA.
  3. Wikipedia (2017). Titanic: Blood and Steel. Diakses pada 2 Januari 2018, pkl. ~07:45 WITA.
  4. Wikipedia (2017). Deepwater Horizon Oil Spill. Diakses pada 2 Januari 2018, pkl. ~08:15 WITA.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.